PENDAHULUAN
Maraknya perbankan syariah dewasa ini bukan merupakan gejala baru dalam dunia bisnis syariah. Keadaan ini ditandai dengan semangat tinggi dari berbagai kalangan, yaitu: ulama, akademis, dan praktisi untuk mengembangkan perbankan tersebut dari sekitar pertengahan abad ke-20. Dewasa ini syariah sedang menjadi pilihan bagi pelaku bisnis perbankan sampai dengan pertengahan tahun 2001. Di Indonesia telah berdiri sepuluh umum syariah (BMI, BNI, BSM, Bukopin, BPD Jabar, Bank IFI, BRI, Danamon, BII, BPD DKI dan lainnya), dengan sekitar 106 kantor cabang, ditambah lagi dengan 94 bank syariah (Bank Indonesia, 2006).
Sebagaimana dinyatakan pembiayaan murabahah, sistem bagi hasil sangat sedikit diterapkan, kecuali di dua negara, yaitu Iran (48%) dan Sudan (62%).[1]
PEMBAHASAN
1. Mudharabah dalam literatur fiqih
Mudharabah adalah kontrak antara dua pihak dimana satu pihak yang disebut rab al-mal (investor) mempercayakan uang kepada pihak kedua, yang disebut mudlarib, untuk tujuan menjalankan usaha dagang, mudlarib menyumbangkan tenaga dan waktunya dan mengelola kongsi mereka sesuai dengan syarat-syarat kontrak. Salah satu ciri utama dari kontrak ini adalah bahwa keuntungan, jika ada, akan dibagi antara investor dan mudlarib berdasarkan proporsi yang telah disepakati oleh si investor.
Al-Qur`an tidak pernah berbicara langsung mengenai mudharabah, meskipun ia menggunakan akar kata dl-r-b, yang darinya kata mudharabah diambil, sebanyak lima puluh delapan kali. Ayat-ayat al-Qur`an yang mungkin memiliki kaitan dengan mudharabah, meski diakui sebagai kaitan yang jauh, menunjukkan arti “perjalanan” atau “perjalanan untuk tujuan dagang”.Dikatakan bahwa Nabi dan beberapa sahabat pun terlibat dalam kongsi-kongsi mudharabah. Menurut Ibnu Taimiyah, para fuqaha menyatakan kehalalan mudharabah, berdasarkan riwayat-riwayat tertentu yang dinisbatkan kepada beberapa Sahabat tetapi tidak ada hadis sahih mengenai mudharabah yang dinisbatkan kepada Nabi. Ibn Hazm (w.456/1064), pendiri Mazhab Zahrini, menguatkan hal ini dengan mengatakan, setiap bab dalam fiqih ada dasar al-Qur`an dan Sunnahnya kecuali mudharabah, karena kita tidak menemukan dasar apapun tentangnya. Menurut ahli fiqih dari Mazhab Hanafi, Sarakhsi (w.483/1090), mudharabah diizinkan karena orang memerlukan kontrak ini.Sementara Faqih dari Mazhab Maliki, Ibn Rusyd (w.595/1198), menganggap kebolehannya sebagai suatu kelonggaran yang khusus. Meskipun mudharabah tidak secara langsung disebutkan oleh al-Qur`an atau Sunnah, ia adalah sebuah kebiasaan yang diakui dan dipraktikan oleh umat Islam, dan bentuk kongsi dagang semacam ini tampaknya terasa hidup sepanjang periode awal era Islam sebagai tulang punggung perdagangan karavan dan perdagangan jarak jauh.
Mudharabah digunakan terutama sebagai suatu instrumen dagang, yakni jual-beli baik jarak jauh (luar kota) ataupun perdagangan lokal (di kota sendiri). Kalangan mazhab Maliki dan Syafi`i menekankan bahwa mudharabah adalah instrumen dagang murni.
Modal
Untuk menghindari segala bentuk penselisihan, kontrak mudharabah harus merinci dengan jelas jumlah modalnya. Ini dapat diwujudkan jika jumlah modal dinyatakan dalam satuan mata uang .modalmudharabah tidak boleh berupa suatu hutang yang dipinjamkan mudarib pada saat dilangsungkannya kontrak mudharabah. Tak satu pun dari empatt mazhab fiqih Sunni yang mengizinkan suatu kontrak dimana kreditur meminta debitur untuk menjalankan mudharabah berdasarkan pengertian bahwa modal kongsi adalah hutang calon mudlarib kepada investor.Alasan pelarangan ini tampaknya karena dalam kontrak semacam ini si investor dapat dengan mudah menggunakan mudharabah sebagai alat untuk memperoleh kembali hutangnya sekalipun mengambil untung darinya.Mengambil untung dari suatu hutang dipandang sebagai riba yang diharamkan dalam hukum Islam.
Manajemen
Mudlarib menjalankan mudharabah sejak per definisi dia menyediakan tenaganya sebagai modal untuk kongsi.Mudlarib harus memiliki kebebasan yang diperlukan dalam pengelolaan kongsi dan dalam pembuatan semua keputusan terkait.Dalam mazhab Hanafi, yang barangkali merupakan mazhab paling liberal dalam masalah ini, sejauh berhubungan dengan kebebasan mudlarib mengurus mudharabah, maka ada dua jenis mudharabah.Mudharabah tak terbatas, si mudlarib mendapatkan kebebasan penuh dalam menjalankan mudharabah selama diperlukan.Ia dapat bepergian jauh membawa modallnya, memberikan modal itu kepada pihak ketiga, atau bahkan melibatkan diri dalam suatu kerjasama (musyarakah) dengan pihak-pihak lain. Mudlarib juga bisa mencampur modal mudharabah dengan barang-barangnya sendiri.Ia boleh menggunakan modal untuk membeli barang apapun dari siapapun dan kapanpun. Ia boleh menjual barang-barang mudharabah dengan cara tunai atau kredit.
Jangka waktu
Kontrak mudlarib tidak boleh berisi syarat yang menetapkan jangka waktu tertentu bagi kongsi.Syarat semacam ini dapat membuat kontrak tersebut batal, demikian menurut kalangan mazhab Maliki dan Syafii.Namun kalangan mazhab Hanafi dan Hanbali mengizinkan klausul demikian. Para ulama yang memegang pendapat pertama beralasan bahwa pembatasan waktu semacam itu bisa membuat peluang yang baik lepas dari tangan mudlarib atau mengacaukan rencana-rencananya sehingga, sebagai akibatnya, ia tidak bisa memperoleh untung dari usaha yang telah ia lakukan.
Jaminan
Investor tidak dapat menuntut jaminan apapun dari mudlarib untuk mengembalikan modal atau modal dengan keuntungan.Mengingat hubungan antara investor dengan mudlarib adalah hubungan yang bersifat gadai dan mudlarib adalah orang yang dipercaya, maka jaminan semacam itu tidak perlu.Jika investor mempersyaratkan pemberian jaminan dari mudlarib dan menyatakan hal ini dalam syarat kontak, maka kontak mudlarib mereka tidak sah, demikian menurut Malik dan Syafi’i.
Pembagian laba dan rugi
Mudharabah pada dasarnya adalah suatu serikat laba dan komponen dasarnya adalah penggabungan kerja dan modal.Laba bagi masing-masing pihak dibenarkan berdasar kedua komponen tersebut.Risiko yang terkandung juga menjadi pembenar laba dalam mudharabah. Dalam kasus yang kongsinya tidak menghasilkan laba sama sekali, risiko investor adalah kehilangan sebagian atau seluruh modal, sementara risiko mudlarib adalah tidak mendapatkan upah atas kerja dan usahanya.
Kontrak mudharabah harus menetapkan suku laba bagi masing-masing pihak.Suku laba harus berupa rasio dan bukan jumlah tertentu. Penetapan jumlah tertentu, misalnya seratus satuan mata uang, bagi salah satu pihak membatalkan mudharabah karena adanya kemungkinan bahwa keuntungan tidak akan mencapai jumlah yang ditetapkan ini. Sebelum sampai kepada angka laba, kongsi mudharabah harus dikonversikan menjadi uang, dan modal harus disisihkan.Mudlarib berhak memotong seluruh biaya yang terkait dengan bisnins dari modal mudharabah.
2. Mudharabah dalam perbankan Islam
Pembahasan berikut utamanya didasarkan pada kontrak-kontrak mudharabah bank-bank Islam yang saat ini beroperasi di Timur Tengah.Umumnya, suatu kontrak mudharabah digunakan dalam perbankan Islam untuk tujuan dagang jangka pendek dan untuk suatu kongsi khusus.Kontrak-kontrak tersebut yang ada pada penulis seringkali berarti jual beli barang, yang menunjukan sifat dagang dari kontrak ini. Para nasabah bank Islam mengikuti kontrak-kontrak mudharabah dengan bank Islam. Mudlarib (nasabah), setelah menerima dukungan pendanaan dari bank, membeli sejumlah atau senilai tertentu dari bangka yang sangat spesifik dari seorang penjual dan menjualnya kepada pihak ketiga dengan suatu laba. Sebelum disetujuinya pendanaan, mudlarib memberikan kepada pihak bank segala perincian mendetail yang terkait dengan barang, sumber dimana barang dapat dibeli serta semua biaya yang terkait dengan pembelian barang tersebut. Kepada bank, mudlarib menyajikan pernyataan-pernyataan finansial yang disyaratkan menyangkut harga jual yang diharapkan, arus kas (cash flow) dan batas laba (prcfit margin), yang akan dikaji oleh bank sebelum diambil keputusan apapun tentang pendanaan. Biasanya bank akan memberikan dana yang diperlukan jika ia telah cukup puas dengan batas laba yang diharapkan atas dana yang diberikan.
Modal
Kontrak-kontrak mudharabah bank Islam menentukan jumlah modal yang digunakan dalam kongsi. Ringkasnya, tidak ada dana tunai yang diberikan kepada mudlarib. Jumlah modal diangsur ke dalam rekening mudharabah yang oleh bank dibuka untuk tujuan pengelolaan mudharabah.Karena umumnya mudharabah untuk tujuan pembelian barang-barang tertentu, maka bank sendirilah yang melakukan pembayaran kepada penjual. Dana-dana yang diberikan oleh bank sebagai modal tidak dalam penanganan mudlarib dan ia tidak dapat menggunakannya untuk tujuan lain. Bagaimanapun juga, bank Islam, misalnya, menyatakan dalam kontrak mudharabah mereka bahwa mudlarib tidak boleh menggunakan dana yang diberikan kepadanya untuk tujuan apapun selain yang telah ditetapkan dalam kontrak, sebuah klausul yang tampaknya agak kurang berarti dalam praktek.
Manajemen
Mudlarib menjalankan dan mengatur pembelian, penyimpanan, pemasaran dan penjualan barang. Kontrak menetapkan secara detail bagaimana ia harus mengelola mudharabah. Mudlarib harus memastikan bahwa deskripsi yang benar tentang barang telah tersedia pada saat pengajuan pendanaan.Ia pribadi bertanggung jawab atas segala kerugian atau biaya yang diakibatkan oleh suatu kesalahan atas spesifikasi karena bank tidak akan menanggung segala kerugian semacam ini. Ia harus menyimpannya baik-baik. Ringkasnya, mudlarib harus mematuhi syarat-syarat terinci dari kontrak dalam kaitannya dengan manajemen kongsi, syarat-syarat yang mana umumnya ditentukan oleh bank.
Jangkawaktu
Karena kontrak mudlararabah umumnya digunakan untuk tujuan jangka pendek, maka jangka waktunya dengan mudah dapat diperkirakan dan umumnya ditetapkan oleh bank Islam dalam kontrak-kontrak demikian. Karena batas laba dari dana bank dihitung dengan memperhitungkan jatuh tempo kontrak, maka adalah amat penting bagi bank Islam agar mudharabah diklirkan (liquidated) dan modal bank beserta keuntungannya diserahkan pada waktu yang telah ditentukan dan dalam kontrak. Dari sudut pandang bank, sedikit saja penguluran dari waktu yang telah ditetapkan akan menempatkan bank dalam risiko, karena hal ini tidak akan memungkinkan bagi bank untuk mengubah rasio keuntungan yang sejak awal telah disepakatai. Karena rasio keuntungan masih tetap konstan selama jangka waktu mudharabah, suatu penguluran dapat berarti pengurangan keuntungan atas modal yang diberikan. Dana tersebut masih tetap terikat dengan mudharabah tanpa diambil manfaat dalam kegiatan investasi yang lain.
Jaminan
Bank Islam mengambil banyak langkah untuk memastikan bahwa modal yang disalurkan dan keuntungan yang diharapkan dari modal ini diberikan kepada bank pada saat yang ditetapkan dalam kontrak.Hal ini biasanya diwujudkan melalui jaminan baik dari mudlarib sendiri maupun dari pihak ketiga.Meskipun fiqih tidak mengizinkan investor untuk menuntut jaminan dari mudlarib, bank-bank Islam umumnya benar-benar meminta beragam bentuk jaminan.Namun mereka menegaskan bahwa jaminan tidak dibuat untuk memastikan kembalinya modal, tetapi untuk memastikan bahwa kinerja mudlarib seuai dengan syarat-syarat kontrak.International Islamic Bank for Investment and Development mempersyaratkan bagi pemohon pendanaan mudharabah untuk menyatakan jenis jaminan yang dapat mereka berikan kepada bank.Salah satu klausul dalam kontrak mudharabah pada Faisal Islamic Bank of Egypt adalah “jika terbukti mudlarib menyalahgunakan atau tidak sungguh-sungguh melindungi barang-barang atau dana-dana, atau bertindak bertentangan dengan syarat-syarat investor, maka mudlarib harus menanggung kerugian, dan harus memberikan jaminan sebagai pengganti kerugian semacam ini.Dalam kejadian yang mudlarib bertanggung jawab atas kerugian seperti ini, penjamin diharuskan untuk memberikan ganti rugi kepada bank.Jika yang diberikan oleh penjamin belum mencukupi, maka mudlarib harus memberikan jaminan tambahan dalam jangka waktu tertentu.
Pembagian laba dan rugi
Bank Islam sepakat dengan masalah mudharabah-nya tentang rasio laba yang ditetapkan dalam kontrak. Rasio akan tergantung antara lain pada daya tawar si nasabah, prakiraan laba, suku-bunga pasar, karakter pribadi nasabah dan daya jual barang, maupun jangka waktu kontrak. Jika mudharabah tidak menghasilkan suatu keuntungan, si mudlarib tidak akan mendapatkan sedikitpun upah atas kerjanya. Dalam hal mengalami kerugian, bank menanggung kerugian sepanjang tidak ditemukan bukti salah-guna dan salah-urus mudlarib atas danamudharabah atau sepanjang tidak ditemukan pelanggaran atas syarat-syarat yang ditetapkan oleh bank. Jika terbukti demikian, maka mudlarib sendiri yang akan menanggung kerugian, dalam kasus mana jaminannya yang terkait dengan tanggung jawab nasabah harus diberikan kepada bank.[2]
3. Types of Mudharabah
In principle, Mudharabah is absolute in nature-meaning that the shahib al-maal does not impose certain restrictions or conditions to the mudharib. This type of mudharabah is called mudharabah mutlaqoh, or Unrestricted Invesment account (URIA). Nevertheless, as necessary arises, a shahib al-maal may determine certain contraints or covenants in the effort to secure is for her capital from risk or lost. These constraints or covenants must be obeyed to or satisfied by the mudharib. If the mudharib infringes these retrictions, he or she his to be held responsible for any consequential loss. This type of mudharabah is called mudharabah muqoyyadah ( limited mudharabah), or restricted invesment account. Hence the two types of mudharabah: the mutlaqoh and muqayyadah.
”Pada prinsipnya, Mudharabah adalah absolut di arti sifat alami itu shahib al maal tidak memaksakan pembatasan tertentu atau kondisi ke mudharib. Jenis ini dari mudharabah dipanggil mudharabah mutlaqoh, atau Unrestricted Invesment Account (URIA). Meskipun demikian, sebagaimana diperlukan, satu shahib al maal mungkin menentukan atau bersetuju dalam upaya untuk mengamankan modanya dari risiko atau hilang. Batasan ini harus dipatuhi untuk atau terpuaskan oleh mudharib. Kalau mudharib melanggar batasan ini, harus bertanggung jawab sebagai akibat. Jenis ini dari mudharabah disebut mudharabah muqoyyadah( mudharabah terbatas), atau terbatas hitung. Karenanya kedua-duanya jenis dari mudharabah: mutlaqoh dan muqayyadah.”[3]
4. Aqad dan Sistem Pengembangan Produk bank Syariah
Berdasarkan lima prinsip pengembangan produk tersebut, maka produk-produk bank syariah adalah sangat bervariasi, tergantung pada prinsip apa yang akan dijadikan rujukan dalam pengembangan produk. Secara skematis, sistem pengembangan produk berdasarkan prinsip syariah dapat ditampilkan sebagai berikut:
Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
Prinsip al-Wadiah (simpanan)
Pengertian
Al-Wahidah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penyimpan menghendakinya.
Dasar hukum
Dasar hukum pengembangan traksaksi berprinsip al-Wadiah, meliputi:
Al-Qur`an
Ayat-ayat al-Qur`an yang dapat dijadikan rujukan dasar akad transaksi al-wadiah, adalah:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (Q.S. An-Nisa’: 58)
“Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya” (Q.S. Al-Baqarah: 283)
Sunnah
Hadis-hadis Rasul yang dapat dijadikan rujukan dasar akad transaksi al-wadiah, adalah:
“Berkatilah saw sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas kepada khianat kepada orang yang telah menghianatimu” (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi menurutnya hadis ini hasan sedang Imam Hakim mengkategorikannya Sahih).
“Dari Ibnu Umar Berkata, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda “Tidak beramanah, tiada Salat bagi yang tak bersuci” (H.R. Thabrani).
Ijma’
Para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah berijma’ (konsensus) akan legitimasi Al-Wadiah, karena kebutuhan manusia terhadap hal ini jelas terlihat seperti yang dikutip oleh Dr. Azzuhaily dalam Al-Fiqh Al-Islami wa adillatuhu dari Mughni wa Syarh Kabir Li Ibni Qudamah dan Al-Mabsuth Lil Iman Sarakhsy.
Penjelasan
Pada dasarnya penerima simpanan adalah “Yad al Amanah” (tangan amanah) artinya, ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan selama hal ini bukan dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan (karena faktor-faktor yang di luar batas kemampuan). Hal ini telah dikemukakan oleh Rasulullah dalam suatu hadits sebagai berikut: “Jaminan pertanggungjawaban tidak diminta dari peminjaman yang tidak menyalahgunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai (akan titipan)”. (Nail al-Author 5/296)
Tetapi dalam aktivitas perekonomian modern si penerima simpanan tidak lagi meng-idle-kan asset tersebut tetapi mempergunakannya dalam aktivitas perekonomian tertentu kemudian mempergunakan hartanya tersebut dengan catatan ia menjamin untuk mengembalikan asset tersebut secara utuh manakala si pemberi titipan menghendakinya, dengan demikian ia tidakYad Al-Amanah tetapi “Yad Ad Dhamanah” (tangan penanggung) yang bertanggung jawab atas segala kehilangan/kerusakan yang terjadi pada barang tersebut.
Mengacu pada pengertian “Yad Ad-Dhamanah” bank sebagai penerima simpanan, dapat memanfaatkan prinsip Al-Wadiah untuk tujuan:
- Current Account (giro)
- Saving Account (tabungan berjangka)
Sebagai konsekuensi dari Yad Ad-Dhamanah, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut adalah milik bank (demikian juga penanggungan kerugian) sebagai imbalan si penyimpan mendapat jaminan keamanan akan hartanya, demikian juga fasilitas-fasilitas giro lainnya.
Sungguhpun demikain bank sebagai penerima titipan sekaligus juga pihak yang memanfaatkan dana tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam incentive berupa bonus dengan catatan tidak diisyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau persentase secara advance, tetapi betul-betul kebijaksanaan dewan direksi.
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw:
Diriwayatkan dari Abu Rafie, “bahwa Rasulullah saw, pernah meminta seseorang unttuk meminjamkannya seekor unta, maka diberinya unta, qurban, setelah selang beberapa waktu, Rasulullah saw, memerintahkan Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada empunya, tetapi Abu Rafie kembali berbalik ke Rasulullah saw. Seraya berkata: Ya Rasulullah unta yang sepadan tidak kami temukan yang ada hanya untuk yang lebih besar dan berumur empat tahun. Rasullullah saw membalas sambil berkata berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar” (HR. Muslim, lihat Mughni Ibnu Qudamah 4/382).
Dari semangat hadits-hadits diatas bonus sama sekali berbeda dengan bunga (interest) dalam prinsip dan sumber pengambilan, sungguhpun dalam praktek, nilai nominalnya mungkin akan lebih kecil, sama atau lebih besar dari nilai suku bunga.
Dalam dunia perbankan modern yang penuh dengan kompetisi insentif semacam ini dapat dijadikan sebagai Banking Policy, dalam upaya untuk merangsang semangat menabung masyarakat, sekaligus juga sebagai indikator kesehatan bank terkait, karena semakin besar prosentase keuntungan yang diberikan ke si penabung dalam bentuk bonus semakin efisien pula pemanfaatan dana tersebut dalam investasi yang produktif dan menguntungkan. Dewasa ini banyak bank-bank Syariah di Luar Negeri telah berhasil mengombinasikan prinsip Al-Wadiah dengan prinsip Al-Mudharabah. Kombinasi ini berarti besarnya bonus ditentukan oleh dewan direksi dalam prosentase dari keuntungan yang dihasilkan oleh dana Al-Wadiah tersebut dalam suatu periode tertentu.[4]
KESIMPULAN
Manajemen bank syariah tidak banyak berbeda dengan manajemen bank pada umumnya (bank konvensional).Namun dengan adanya landasan syariah serta sesuai dengan Peraturan Pemerintah yang mengikuti bank syariah antara laian UU. No. 10 Tahun 1998 sebagai revisi UU No. 7 tahun 1992, tentu saja baik organisasi maupun sistem Operasional Bank Syraiah terdapat perbedaan dengan bank umum, terutama adanya dewan pengawas syariah dalam struktur organisasi dan adanya sistem bagi hasil.
Oleh karena itu dengan adanya Dewan Syariah yang nantinya harus memahami persoalan hukum, ekonomi dan bisnis, serta adanya sistem bagi hasil dalam bank syariah tersebut.
5 Ahmad, Dahlan. Bank Syariah (Yogyakarta : Teras, 2012), hlm. 9
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Ahmad. Bank Syariah, Yogyakarta: Teras, 2012.
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah di Bank Syariah, Jakarta: Rajagrafindo, 2008.
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah,Yogyakarta: Press, 2000.
Saed, Abullah. Menyoal Bank Syariah, Jakarta: Paramadina, 2004.
Karim, Adiwarman A. Islamic Banking: Fiqh and Financial analysis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
[1] Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah di Bank Syari’ah. Hlm.1-2
[2] Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syari’ah. Hlm 77-87
[3] Adiwarman A. karim, Islamic Banking: Fiqh and financial Analysis. Hlm 205.
[4]Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah.hlm.7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar