cek in

Rabu, 12 Februari 2014

makalah mashlahah mursalah mylife

makalah nanda

BAB I
PENDAHULUAN

            Ushul fiqh dapat dilihat dari dua sisi, pertama, sebagai rangkaian dari dua kata, ushul dan fiqh. Kedua, sebagai satu bidang ilmu dan ilmu-ilmu syari’at.
Ushul yang berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi sesuatu yang lain, dan pengertian ini ushul fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh.
Abdul wahhab khallaf mendefinisikan dengan :
“ilmu tentang kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.”
            Ushul juga dikatakan dengan kumpulan kaidah atau metode yang menjelaskan kepada ahli hukum islam tentang cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’. sebagian ahli ushul fiqh mengatakan bahwa objek pembahasan ilmu ushul fiqh kembali menetapkan dalil-dalil untuk hukum-hukum dan tetapnya hukum-hukum berdasarkan dalil-dalil. Sebelum melanjutkan pembahasan ketahuilah bahwasannya setiap hukum yang ditetapkan allah dalam al-Qur’an begitu pula yang ditetapkan nabi dalam sunnahnya mengandung unsur maslahat dalam tinjauan akal, baik dalam bentuk mendatangkan manfaat atau kebaikan yang diperoleh oleh manusia maupun menghindarkan kerusakan dari manusia. Maslahat itu berkenaan dengan hajat hidup manusia, baik bentuk agama, jiwa, akal, keturunan, harga diri maupun harta. Oleh karena itu, dalam keadaan tidak ditemukan hukumnya dalam al-Qur’an maupun sunnah nabi dapatkah hukum syara’ atau fiqh ditetapkan dengan pertimbangan maslahat itu, karena setiap pendapat berbeda – beda itu merupakan rahmatan lil’alamin dalam umat islam.

RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah yang dimaksud dengan Mashlahah Mursalah ?
2.      Apa saja bentuk-bentuk Mashlahah Mursalah ?
3.      Apa saja syarat-syarat kehujjahan Mashlahah Mursalah ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Al – Maslahah Al – Mursalah
            Al-maslahah al-mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada ‘illat yang keluar syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut. Kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai hukum syara’ yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan suatu manfaat dari kemaslahatan tersebut.[1]
1.1 Menurut Etimologi
Dari segi bahasa kata al-mashlahah yaitu seperti lafazh al-manfa’at baik artinya ataupun wajan-nya (timbangan kata), yaitu kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-shalah. Bisa juga dikatakan bahwa al-mashlahah itu merupakan bentuk tunggal (mufrad) dari kata al-mashalih. Pengarang kamus lisan al-‘arab manjelaskan dua arti, yaitu al-mashlahah yang berarti al-shalah dan al-mashlahah yang berarti bentuk tunggal dari al-mashalih. Semuanya mengandung arti adanya manfaat baik secara asal maupun melalui suatu proses. Manfaat yang dimaksud oleh hukum syara’(Allah) adalah sifat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan hartanya untuk mencapai ketertiban nyata antara pencipta dan makhluk-Nya.
Manfaat itu adalah kenikmatan atau sesuatu yang akan mengantarkan kepada kenikmatan. Dengan kata lain, tahshil al-ibqa. Maksud tahshil adalah penghimpunan kenikmatan secara langsung, sedangkan yang dimaksud al-iqba adalah penjagaan terhadap kenikmatan tersebut dengan cara menjaganya dari kemadharatan dan sebab-sebabnya.




1.2  Menurut  Terminologi
Kemaslahahan yang oleh syar’i tidak dibuatkan hukum untuk mewujudkannya, tidak ada dalil syara’ yang menunjukan dianggap atau tidaknya kemaslahatan itu bersifat mutlak (umum) karena tidak dibatasi dengan dalil pengakuan dan dalil pembatalan.[2]
Al-mashlahah al-mursalah merupakan suatu metode ijtihad dalam rangka menggali hukum (istinbath) Islam, namun tidak berdasarkan pada nash tertentu, namun berdasarkan kepada pendekatan maksud diturunkannya hukum syara’ (maqashid as-syari’ah).
Kemaslahahan yang menjadi tujuan syara’ bukan kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu saja. Sebab tujuan pensyari’atan hukum tidak lain adalah untuk merealisasikan kemaslahahan manusia dalam segala aspek kehidupan dunia agar terhindar dari berbagai bentuk kerusakan. Penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid asy-syari’ah merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam menetapkan hukum syara’ selain melalui pendekatan kebahasaan yang sering digunakan oleh para ulama. Jika dibandingkan dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid asy-syari’ah dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan kaidah kebahasaan, maka pendekatan melalui maqashid asy-syari’ah dapat membuat hukum Islam lebih fleksibel, karena pendekatan ini akan hukum Islam yang bersifat kontekstual. Sedangkan pengembangan hukum Islam melalui kaidah kebahasaan akan menghilangkan jiwa fleksibilitas hukum Islam, hukum Islam akan kaku (rigid) sekaligus akan kehilangan nuansa kontekstualnya.
    
1.3       Pengertian dan Peristilahan Al-mashlahah  al-mursalah Menurut para Ulama  
1.      Mengenai rumusan definisi maslahah mursalah menurut para ulama dapat dikemukakan sebagai berikut :  
A.    Menurut Imam al-Ghazali (450-505 H)
مُعَيّن نَصُّ وَلَابِالْاِعْتِبَرِ بِالْبُطَلاَنِ الشَّرْعِ مِنَ لَهُ يَشْهَدْ مَالَمْ
Maslahat yang tidak ditunjukan oleh dalil tertentu dari syara’,
yang membatalkan atau membenarkan.”

Al-Ghazali membagi maslahah menjadi tiga :
Pertama,  maslahah yang dibenarkan oleh syara’. Hal ini dapat dijadikan sebagai hujjah dan implementasinya kembali kepada qiyas.
           Kedua, maslahah yang dibatalkan (tidak dibenarkan oleh syara’). Hal ini tidak dapat dijadikan hujjah.
           Ketiga,  maslahah yang tidak ada dalil tertentu yang membenarkan atau  membatalkannya. Hal ini masih diperselisihkan dan disebut dengan maslahah mursalah.
           Untuk mempertegas mashlahah dalam katagoru ketiga, Al – Ghazali mengatakan:
كلّ مصلحة رجعة إلى حفظ مقصود شرععيّ علم كونه مقصودابالكتاب والسنة والإجماع فليس جارجامن هده الأصول،لكنّه لايسمّى قياسا بل مصلحة مرسلة،إذللقياس أصل معين،وكون هذه المعاني مقصودة عرفت لابدليل واحد بل بأدلّة كثيرة لاحصرلهامن الكتاب والسنة وقراىٔن الأحوال ونقاريق الأمارات تسمّى لذلك مصلحةمرسلة.
           “Setiap maslahah yang kembali untuk memelihara tujuan syara yang diketahui al kitab ( al-Qur’an ), sunnah dan ijma, maslahah itu tidak keluar dari dalil dali tersebut. Ia tidak dinamakan qiyas, tetapi dinamakan maslahah mursalah sebab qiyas ada dalilnya tertentu. Adanya maslahah tersebut dikehendaki oleh syara diketahui bukan saja dari satu dalil, namun berdasarkan dalil yang cukup banyak yang tidak terhitung, baik dari alquran, sunnah, kondisi dan situasi, serta tanda tanda yang lain, yang karenanya dinamakan maslahah mursalah”.
           Dapat disimpulkan menurut al-Ghazali ialah maslahat yang sejalan dengan tindakan syara’ (mula’imah li-tasarrufat asy-syar’), yang dimaksudkan untuk memelihara tujuan syara’ ( hukum islam), tidak ada dalil tertentu yang menunjukkannya, dan kemaslahatan itu tidak berlawanan dengan al-Qur’an,sunnah, atau ijma’.
B.     Imam Malik
        Suatu mashlahah yang sesuai dengan tujuan, prinsip, dan dalil-dalil syara’ yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat dharuriyat (primer) maupun hajjiyat (sekunder). (Al – I’tisham, juz 11 : 1229)[3]
C.   Menurut asy-Syatibi ( 730-790 H )
ان يلا ىٔم تصرفات الشرغ ، وهوأن يوجد لذلك المعنى جنس إعتبره الشارع فى الجملة بغير دلِيل معين.وهو الاستدلال المر سل المسمى بالمصالح المرسلة
           “Maslahah itu ( maslahah yang tidak ditunjukan oleh dalil khusus yang membenarkan atau membatalkan) sejalan dengan tindakan syara’, artinya pada maslahah tadi ada jenis yang dibenarkan oleh syara’ dalam kasus lain tanpa dalil tertentu. Itulah istidlal mursal yang dinamakan masalih mursalah.”
           Asy-Syaitibi membagi maslahat menjadi tiga :
Pertama, maslahah yang ditunjukkan oleh dalil syara’ untuk diterima. Kedua, maslahat yang ditunjukanoleh dalil khusus untuk diterima atau ditolak. Ketiga, maslahah yang tidak ditunjukkan oleh dalil khusus untuk diterima atau ditolak.3
D.   Menurut Zakiy ad-Din Sya’ban
 المعنى التى يحصل من ربط الحكم بها و بنا ىٔه عليها جلب منفعىٔةِ أو دفع مفسدة عن ِالخلق ولم يكن دليل معين يدل عل اعتبر ها أو إلغاىٔها

           “Maslahah/kemaslahahan yang ditetapkannya hukum padanya akan berhasil menarik manfaat dan menolak mafsadah dari makhluq dan tidak ada dalil tertentu yang menunjukkannya,baik yang membenarkan maupun yang membatalkan.” [4]
E.   Menurut Badran Abu al-‘Ainain Badran
مصلحة لم يُعلم عن الشا رع دليل باالاعتبارولا بالبطلان

F.    Menurut Husain Hamid Hassan
المصلحة المر سلة مصلحة تدخل تحت أصل شرعيّ مأخوذ من استقراء -النصوص الشرعية
           “Maslahah mursalah ialah maslahah yang masuk/tercakup kedalam dalil syara’ yang diambil atau difahami lewat penelitian dari berbagai nash syara’.”
G.  Menurut Wahbah Zuhaili
هي الاوصاف التى تلا ىٔم تصر فات الشرع و مقا صده ولكن لم يشهد لها دليل معين من الشرع باالاعتبار او الإلغاء ويحصل من ربط الحكم بها جلب مصلحة أو دفع مفسدة عن الناس
          
           Maslahah mursalah adalah beberapa sifat yang sejalan dengan tindakan dan tujuan syara’,
 tetapi tidak ada dalil tertentu dari syara’ yang membenarkan atau menggugurkan, dan ditetapkannya hukum padanya akan tercapai kemaslahatan dan tertolak kerusakan dari manusia.”

H.   Menurut Muhammad Sa’id Ramdan al-Buti
إن حقيقة المصالح المرسلة هي كل منفعة داخلة فى مقاصد الشرع دون أن يكون لها شاهد با الإعتبار أو الإلغاء
           “Hakikat maslahah mursalah ialah setiap manfaat yang tercakup kedalam tujuan syari’( pembuat hukum islam) dengan tanpa dalil yang membenarkan atau membatalkan.”

I.      Abu Zahrah
           Al-mashlahah al-mursalah adalah suatu maslahah yang sesuai dengan maksud-maksud hukum (Allah) secara umum, tetapi tidak ada dasar yang secara khusus menjadi bukti diakui atau tidaknya. ( Abu Zahrah : 221)[5]
J.      Abu Nur Zuhair
              Al-mashlahah al-mursalah adalah suatu sifat yang sesuai dengan hukum, tetapi belum tentu diakui atau tidaknya oleh syara’. ( Muhammad Abu Nur Zuhair.IV : 185)
2.                  Peristilahan Al-maslahah al-mursalah
           
            Dalam kajian usul fiqh, dapat disebut maslahah mursalah (dalam bentuk mufrad) atau masalih mursalah (dalam bentuk jamak). Keduanya lazim digunakan. Menurut penelitian Dr. Muhammad Sa’ad asy-Syanawi, tokoh usuliyyin yang pertama kali memunculkan dan mempopulerkan istilah istislah ini adalah imam al-Haramain al-Juwaini (w.478 H). Al-Ghazali menyebutkan dalam kitabnya al-Mankhul dengan istidlal sahih. Sebagian fuqaha dan usuliyyin menamakannya denagan munasib mursal. Sebagaian ulama menggunakan istilah al-maslahah al-mursalah itu dengan al-munasib al-mursal.
Ada juga yang menggunakan al-istishlah dan ada pula yang menggunakan istilah al-istidlal al-mursal.
Setiap hukum yang didirikan atas dasar mashlahah dapat ditinjau dari tiga segi yaitu :
Ø  Melihat mashlahah yang terdapat pada kasus yang dipersoalkan.
Ø  Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ (al-washf al-munasib) yang mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu kemaslahatan.
Ø  Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahah yang  ditunjukkan oleh dalil khusus.
Walaupun para ulama berbeda-beda dalam memandang al-mashlahah al mursalah, hakikatnya adalah satu, yaitu setiap manfaat yang didalamnya terdapat tujuan syara’,  
3.                  Bentuk-bentuk Maslahat
a.       Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, para ahli ushul fiqh membaginya kepada tiga macam, yaitu :
1)    Mashlahah al-Dharuriyyah
Kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan ini ada 5 yaitu :
Ø  Memelihara agama, merupakan fitrah dan naluri insani yang tidak bisa diingkari dan sangat dibutuhkan umat manusia, yang berkaitan dengan ‘aqidah, ibadah, maupun mu’amalah.
Ø  Memelihara jiwa, merupakan hak asasi bagi setiap manusia, maka adanya hukuman qishash dapat memelihara keselamatan jiwa, sumber daya alam untuk dikonsumsi manusia, dan lain – lain.
Ø  Memelihara akal, merupakan sasaran yang menentukkan bagi seseorang dalam menjalani hidup dan kehidupannya, maka allah melarang meminum minuman keras karena memabukkan.
Ø  Memelihara keturunan, merupakkan masalah pokok bagi manusia dalam rangka memelihara kelangsungan manusia di muka bumi ini, maka allah mensyari’atkan nikah.
Ø  Memelihara harta, merupakan  sesuatu yang dharuri (pokok) dalam kehidupan manusia. Untuk memelihara harta seseorang maka allah mensyari’atkan hukuman pencuri dan perampok.
2)    Maslahah al-Hajiyah
        Merupakan kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia. Misalnya dalam dalam ibadah diberi keringanan meringkas (qashr) shalat, dalam bidang mu’amalah dibolehkan berburubinatang dan memakan makanan yang baik – baik. Semua ini disyari’atkan allah untuk mendukung kebutuhan mendasar al-mashalih al-khamsah di atas.
3)    Mashlahah al-Tahsiniyyah
        Merupakan kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan yang bergizi, berpakaian yang bagus-bagus,melakukan ibadah-ibadah sunat sebagai tambahan amalan ibadah. [6]





b.      Dilihat dari segi keberadaan maslahah menurut syara’ terbagi menjadi tiga yaitu :
1)      Al-mashlahah al-mu’tabarah
     Sesuatu yang maslahat menurut pertimbangan akal, dan disamping itu ada pula petunjuk khusus dalam nash atau ijma’ bahwa maslahat itu dapat diperhitungkan.
 Maslahat dalam bentuk ini disepakati oleh ulama untuk dijadikan petunjuk dalam menetapkan hukum. Misalnya, hukuman atas orang yang meminum minuman keras dalam hadits Rasulullah saw. Dipahami secara berlainan oleh para ulama fiqh, disebabkan perbedaan alat pemukul yang digunakan Rasulullah saw. Ada yang mengatakan memukulnya memakai sandal sebanyak 40 kali, ada juga yang mengatakan menggunakan pelepah pohon kurma sebanyak 40 kali, oleh sebab itu ‘umar ibn al-khaththab, setelah bermusyawarah dengan para sahabat yang lain menjadikan hukuman dera bagi orang yang meminum minuman keras tersebut sebanyak 80 kali.
2)      Al-mashlahat al-mulghah
     Sesuatu yang maslahat menurut akal, namun ada petunjuk khusus dalam nash atau ijma’ yang menolaknya. Ulama telah sepakat untuk menolaknya menjadi dalil hukum syara’. Misalnya menentukkan hukuman bagi orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari di bulan Ramadhan, syara’ menentukkan hukuman dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin. Sedangkan al-Laits ibn sa’ad, menetapkan hukuman puasa dua bulan secara berturut-turut kepada si pelaku. Namun para ulama memandang hukuman ini bertentangan dengan hadits nabi, karena bentuk-bentuk hukuman itu harus diterapkan secara berurutan. Apabila tidak mampu memerdekakan budak , baru dikenakan hukuman puasa dua bulan berturut-turut. Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqh memandang mendahulukan puasa dua bulan berturut-turut dari memerdekakan budak merupakan kemaslahatan yang bertentangan dengan kehendak syara’ hukumnya batal.

3)      Al-mashlahah al-mursalah
     Sesuatu yang muslahat menurut pertimbangan akal, tetapi tidak ada nash secara khusus yang membenarkannya dan juga tidak ada petunjuk khusus yang menolaknya. Terbagi menjadi dua, yaitu :
 a. Maslahah al-gharibah, yaitu kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’ baik secara rinci maupun secara umum.
b. Maslahah al-mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung dalil dalil syara’ atau nash yang rinci, tetapi di dukung oleh sekumpulan makna nash (ayat atau hadits).[7]

4.     Objek Al-mashlahah al-mursalah
Objek al-mashalahah al-mursalah selain yang berlandaskan pada hukum syara’ secara umum, juga harus diperhatikan adat dan hubungan antara satu manusia dengan yang lainnya. Objek tersebut merupakan pilihan utama untuk mencapai kemaslahatan. Secara ringkas al-maslahah al-mursalah difokuskan terhadap objek yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al-Qur’an maupun sunah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu i’tibar, juga difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijma’ atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut.
5.       
6.         Teori mashlahah dalam syariat islam
Dalam bahasa arab mashlahah merupakan sinonim dari kata manfa’at dan lawan kata dari kata kerusakan. Kata manfa’at sendiri selalu di artikan dengan ladzdah (rasa enak) dalam kajian syariat, kata mashlahat dapat di pakai sebagai istilah untuk mengungkapkan pengertian yang khusus meskipun tidak lepas dari arti aslinya.  Sedangkan arti mashlahat adalah menarik manfa’at atau menolak mudharat.
Menurut ‘izz ad-Din bin ‘Abdul Salam mashlahah dan mafsadah sering di maksud dengan baik dan buruk, karena mashlahah itu baik sedangkan mafsidah itu semua buruk membahayakan dan tidak baik untuk manusia.
Dalam bagian lain ‘izz ad-Din mengemukakan bahwa mashlahah itu ada empat macam yaitu kelezatan, sebab-sebab nya, kesenangan dan sarana nya. Sedangakan mafsadah juga ada empat macam, yaitu rasa sakit atau tidak enak, penyebab atau hal-hal yang menyebabkannya, rasa sedih dan penyebabnya atau hal-hal yang menyebabkannya imam al-Razi8 menyatakan bahwa pengertian manfa’at itu tidak perlu di definisikan seperti itu sebab Al Ghozali menjelaskan bahwa menurut asalnya maslahah itu berarti sesuai yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan mudharat yang hakikatnya adalah memelihara tujuan syara dalam menetapkan hukum. Yusuf Hamid dalam kitabnya al-maqashid yang dikutip oleh Amir Syarifudin menjelaskan keistimewaan maslahah syari dibandingkan dengan maslahah. Ketiga, maslahah dalam arti syara’ tidak terbatas pada rasa enak dan tidak enak dalam artian fisik jasmani saja tetapi juga enak dan tidak enak dalam artian mental spiritual atau secara rohaniah.[8]
7.      Pandangan Para Ahli Hukum Islam Terhadap Maslahah Mursalah
Para ahli hukum islam dalam menghadapi mashlahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum terbagi dua golongan. Golongan pertama mengatakan bahwa pengguna mashlahah mursalah sebagai dalil hukum dalam melaksanakan ijtihad yaitu diperbolehkan dan dapat dipakai sebagai landasan untuk ijtihad, golongan kedua mengatakan penggunaan mashlahah mu[9]rsalah sebagai dalil hukum dalam ijtihad tidak diperbolehkan. [10]
8.      Kehujjahan Maslahah Mursalah
Jumhur ulama islam menetapkan bahwa maslahah mursalah itu adalah hujjah syariat yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadiaan yang tidak ada hukumnya dalam nash dan ijma atau qiyas atau istihsan itu disyariatkan .
a.      Syarat –syarat kehujjahan maslahah mursalah
Ø             Berupa maslahah yang sebenarnya, bukan maslahah yang bersifat dugaan. Yang dimaksud dengan ini, yaitu agar dapat direlisir pembentukan hukum suatu kejadian itu, dan dapat mendatangkan keuntungan atau menolak madharat. Adapun dugaan semata bahwa pembentukan hukum itu mendatangkan keuntungan-keuntungan tanpa pertimbangan diantara maslahah yang dapat didatangkan oleh pembentukan hukum itu, maka ini berarti adalah didasarkan atas maslahah yang bersifat dugaan.
Ø             Berupa maslahah yang umum, bukan maslahah yang bersifat perorangan. Yang dimaksud dengan ini, yaitu agar dapat direalisir bahwa dalam pembentukan hukum suatu kejadian dapat mendatangkan keuntungan kepada kebanyakan ummat manusia, atau dapat menolak madharat dari mereka.dan bukan mendatangkan keuntungan kepada seseorang atau beberapa orang saja diantara mereka.
Ø             Pambentukan hukum bagi maslahah ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan oleh nash atau ijma. Jadi tidak sah mengakui maslahah yang menuntut adanya kesamaan hak diantara anak laki-laki dan perempuan dalam hal pembagian harta pusaka, karena maslahah ini adalah maslahah yang dibatalkan. [11]


المصلح المرسلة
 ثبت باالا ستقرا ء وبل النصوص أن الشر يعةالإسلامية قد اشتملت أحكامها على مصا لح الناس،فقد قال تعالى : مو ما أسلناك إلا رحمة للعا لمين، وقال تعلى : يأيها النس قد جا ء تكم مو عظة من ربكم وشفاء لما فىالصدور وهدى ورحمة للمؤ منين،وان هد المصلحة واضحة بينة لذوى العقول المستقيمة،وإن اختفت تلك المصلحةعلى البعض أو اختلفوا فى شأ نها،فمنشأ ذلك استيلاء تفكير ٓاخر على عقل أحد الناظرين غشى عليه فلم يدرك حقيقةالمصلحة االذ اتية الثابتة فى الحكم الإسلام،أو يكون متأ ثرابحل وقنية،أو مأخوذاَبنظر موظعى أو شخصى،كمايدعى بعض الناس اليوم أن المصلحة فى إباحةالفالدة،ويتجاوزن الحد متأثرين بانعهار الناس فيها،فيدعون أنها غير داخلة في عموم الرباالمحرم بنص القران،ولقد جرؤبعض الناس ممن غشاهم الهوى فقرر أنه لامصلحة فى تقريرعقوبة الجا(د)على الزانى والزانية،وكذلك زعم بعض الدين استولى عليهم الهوى أن فى الخمر مصلحة تفوق مضرتها،وما هذاكله إلاغاشيه من غواشى التأثر الفكرى بأقوام تحالموا من كل حريجةدينية،وأصاب تفكير هم رق موصعى
والمصلحة المرسلة أو الاستصلاح ـ هى المص لح الملاىٔمةلمقاصد الشارع الإسلامى،ولا يشهد لها أصل خاص بالاعتبارأوالإلغاء،فإن كان يشهد لها أصل خاص دخلة فى عموم القياس،وان كان يشهد لها أصل خاص بالإلغإفى باطلة،والأخذ بها منا هضة لم صدالشارع[12].

KESIMPULAN
Mashlahah berasal dari kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-shalah. Sedangkan Mursalah         artinya dengan mutlaqah yaitu terlepas. Dengan demikian, mashlahah mursalah adalah suatu kemashlahahn yang tidak mempunyai dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Tujuan utama mashlahah mursalah adalah memelihara dari kemudharatan dan menjaga kemanfaatannya.
Sebagian ulama memandang maslahah mursalah sebagai hujjah (menjadikannya sbagai dalil istinbat hukum islam) dan sebagian yang lain tidak memandang sebagai hujjah, oleh karenanya status kehujjahannya masih diperselisihkan. Untuk menentukan kehujjahan mashlahah mursalah perlu adanya syarat-syarat kehujjahan yaitu :
Ø  Maslahah itu sejalan dengan jenis tindakan – tindakan syara’.
Ø  Maslahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’.
Ø  maslahah itu termasuk ke dalam kategori maslahah yang dharuri, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.

                                                                                                     
 DAFTAR PUSTAKA
Al-Zarqa, Mustofa Ahmad, Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Study Kooperatif Delapan Mazhab Fiqh), Jakarta : Riora Cipta, 2000
Haroen Nasrun, Ushul Fiqh 1, jakarta : Publishing House, 1996
Hallaq, B Wael, Sejarah Teori Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000
Hanafi, Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1995
Mannan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2006
Muhammad Imam Abu Zahra, Ushul Fiqh
Suratmaputra, Ahmad Munif, Filsafat Hukun Islam Al-Ghazali Mashlahah Mursalah Revisinya dengan Pembeharuan Hukum Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002
Syafe’i, Rachmat,Ilmu Ushul Fiqh , Bandung :Pustaka Setia, 2007
Syarifudin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2011
Yahya, Mukhtar, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung : Alma’arif, 1997
Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta : Bumi Aksara, 2005
  ١٩٩٥ ،داراالفكر:دمسق ،لفقه اصول فيِ الوجيز ،وهبة الزحيلي




[1] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul (Bandung : Pustaka Setia,2007),  hlm. 117
[2] Abdul Khallaf  Wahhab, Kaidah – kaidah  Hukum Islam,( Jakarta : Raja Grafindi Pradana, 1996 ), hlm.110
[3] Rachmat Syafe’i , Ilmu Ushul Fiqh,(Bandung : Pustaka Setia, 2007) hlm. 120
[4] Sya’ban Zakiy Ad-din, Ushul Fiqh Al-islami,() hlm. 182
[5] Rachmat Syafe’i , Ilmu Ushul Fiqh,(Bandung : Pustaka Setia, 2007), hal.
[6] Nasrun Haroen, ushul fiqh 1( Jakarta : Logos Publishing House, 1996), hal. 115-116
[7] Nasrun Haroen, ushul fiqh 1( Jakarta : Logos Publishing House, 1996), hal. 117-119

Tidak ada komentar:

Posting Komentar