makalah nanda
BAB I
PENDAHULUAN
Ushul fiqh dapat dilihat dari
dua sisi, pertama, sebagai rangkaian dari dua kata, ushul dan fiqh.
Kedua, sebagai satu bidang ilmu dan ilmu-ilmu syari’at.
Ushul yang berarti sesuatu
yang dijadikan dasar bagi sesuatu yang lain, dan pengertian ini ushul fiqh
berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh.
Abdul wahhab khallaf
mendefinisikan dengan :
“ilmu tentang kaidah
dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum
syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.”
Ushul juga dikatakan dengan
kumpulan kaidah atau metode yang menjelaskan kepada ahli hukum islam tentang
cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’. sebagian ahli ushul fiqh
mengatakan bahwa objek pembahasan ilmu ushul fiqh kembali menetapkan
dalil-dalil untuk hukum-hukum dan tetapnya hukum-hukum berdasarkan dalil-dalil.
Sebelum melanjutkan pembahasan ketahuilah bahwasannya setiap hukum yang
ditetapkan allah dalam al-Qur’an begitu pula yang ditetapkan nabi dalam sunnahnya
mengandung unsur maslahat dalam tinjauan akal, baik dalam bentuk
mendatangkan manfaat atau kebaikan yang diperoleh oleh manusia maupun
menghindarkan kerusakan dari manusia. Maslahat itu berkenaan dengan
hajat hidup manusia, baik bentuk agama, jiwa, akal, keturunan, harga diri
maupun harta. Oleh karena itu, dalam keadaan tidak ditemukan hukumnya dalam al-Qur’an
maupun sunnah nabi dapatkah hukum syara’ atau fiqh ditetapkan
dengan pertimbangan maslahat itu, karena setiap pendapat berbeda – beda
itu merupakan rahmatan lil’alamin dalam umat islam.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah yang dimaksud dengan Mashlahah Mursalah ?
2.
Apa saja bentuk-bentuk Mashlahah Mursalah ?
3.
Apa saja syarat-syarat kehujjahan Mashlahah Mursalah
?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Al – Maslahah Al – Mursalah
Al-maslahah
al-mursalah adalah
suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada
ketentuan syari’at dan tidak ada ‘illat yang keluar syara’ yang menentukan
kejelasan hukum kejadian tersebut. Kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai hukum
syara’ yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau
untuk menyatakan suatu manfaat dari kemaslahatan tersebut.[1]
1.1 Menurut Etimologi
Dari segi bahasa kata al-mashlahah
yaitu seperti lafazh al-manfa’at baik
artinya ataupun wajan-nya (timbangan
kata), yaitu kalimat mashdar yang
sama artinya dengan kalimat ash-shalah.
Bisa
juga dikatakan bahwa al-mashlahah itu
merupakan bentuk tunggal (mufrad)
dari kata al-mashalih. Pengarang
kamus lisan al-‘arab manjelaskan dua
arti, yaitu al-mashlahah yang berarti al-shalah dan al-mashlahah yang berarti bentuk tunggal dari al-mashalih. Semuanya mengandung arti adanya manfaat baik secara asal maupun melalui suatu proses. Manfaat yang dimaksud oleh hukum
syara’(Allah) adalah sifat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan hartanya
untuk mencapai ketertiban nyata antara pencipta dan makhluk-Nya.
Manfaat itu adalah kenikmatan atau sesuatu yang akan
mengantarkan kepada kenikmatan. Dengan kata lain, tahshil al-ibqa. Maksud tahshil
adalah penghimpunan kenikmatan secara langsung, sedangkan yang dimaksud al-iqba adalah penjagaan terhadap
kenikmatan tersebut dengan cara menjaganya dari kemadharatan dan sebab-sebabnya.
1.2 Menurut Terminologi
Kemaslahahan yang oleh syar’i
tidak dibuatkan hukum untuk mewujudkannya, tidak ada dalil syara’ yang
menunjukan dianggap atau tidaknya kemaslahatan itu bersifat mutlak
(umum) karena tidak dibatasi dengan dalil pengakuan dan dalil pembatalan.[2]
Al-mashlahah al-mursalah merupakan suatu metode
ijtihad dalam rangka menggali hukum (istinbath) Islam, namun tidak berdasarkan
pada nash tertentu, namun berdasarkan kepada pendekatan maksud diturunkannya
hukum syara’ (maqashid as-syari’ah).
Kemaslahahan yang menjadi tujuan syara’ bukan kemaslahatan
yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu saja. Sebab tujuan
pensyari’atan hukum tidak lain adalah untuk merealisasikan kemaslahahan
manusia dalam segala aspek kehidupan dunia agar terhindar dari berbagai bentuk
kerusakan. Penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid asy-syari’ah
merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam menetapkan hukum syara’ selain
melalui pendekatan kebahasaan yang sering digunakan oleh para ulama. Jika
dibandingkan dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid
asy-syari’ah dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan kaidah kebahasaan,
maka pendekatan melalui maqashid asy-syari’ah dapat membuat hukum Islam lebih
fleksibel, karena pendekatan ini akan hukum Islam yang bersifat kontekstual.
Sedangkan pengembangan hukum Islam melalui kaidah kebahasaan akan menghilangkan
jiwa fleksibilitas hukum Islam, hukum Islam akan kaku (rigid) sekaligus akan
kehilangan nuansa kontekstualnya.
1.3 Pengertian
dan Peristilahan Al-mashlahah al-mursalah
Menurut para Ulama
1. Mengenai rumusan definisi maslahah mursalah
menurut para ulama dapat dikemukakan sebagai berikut :
A.
Menurut Imam al-Ghazali (450-505 H)
مُعَيّن نَصُّ وَلَابِالْاِعْتِبَرِ بِالْبُطَلاَنِ الشَّرْعِ مِنَ لَهُ يَشْهَدْ مَالَمْ
“Maslahat
yang tidak ditunjukan oleh dalil tertentu dari syara’,
yang
membatalkan atau membenarkan.”
Al-Ghazali
membagi maslahah menjadi tiga :
Pertama, maslahah yang dibenarkan oleh syara’. Hal ini dapat dijadikan sebagai hujjah dan implementasinya
kembali kepada qiyas.
Kedua, maslahah yang dibatalkan (tidak dibenarkan oleh syara’). Hal ini tidak dapat dijadikan
hujjah.
Ketiga, maslahah yang tidak ada dalil tertentu yang membenarkan
atau membatalkannya. Hal ini masih
diperselisihkan dan disebut dengan maslahah mursalah.
Untuk
mempertegas mashlahah dalam katagoru ketiga, Al – Ghazali mengatakan:
كلّ
مصلحة رجعة إلى حفظ مقصود شرععيّ علم كونه مقصودابالكتاب والسنة والإجماع فليس
جارجامن هده الأصول،لكنّه لايسمّى قياسا بل مصلحة مرسلة،إذللقياس أصل معين،وكون
هذه المعاني مقصودة عرفت لابدليل واحد بل بأدلّة كثيرة لاحصرلهامن الكتاب والسنة
وقراىٔن الأحوال ونقاريق الأمارات تسمّى لذلك مصلحةمرسلة.
“Setiap maslahah yang kembali untuk memelihara tujuan syara
yang diketahui al kitab ( al-Qur’an ), sunnah dan ijma, maslahah itu tidak
keluar dari dalil dali tersebut. Ia tidak
dinamakan qiyas, tetapi dinamakan maslahah mursalah sebab qiyas ada dalilnya
tertentu. Adanya maslahah tersebut dikehendaki oleh syara diketahui bukan saja
dari satu dalil, namun berdasarkan dalil yang cukup banyak yang tidak
terhitung, baik dari alquran, sunnah, kondisi dan situasi, serta tanda tanda
yang lain, yang karenanya dinamakan maslahah mursalah”.
Dapat disimpulkan menurut
al-Ghazali ialah maslahat yang sejalan dengan tindakan syara’ (mula’imah
li-tasarrufat asy-syar’), yang dimaksudkan untuk memelihara tujuan syara’ (
hukum islam), tidak ada dalil tertentu yang menunjukkannya, dan kemaslahatan itu
tidak berlawanan dengan al-Qur’an,sunnah, atau ijma’.
B.
Imam Malik
Suatu
mashlahah yang sesuai dengan tujuan, prinsip, dan dalil-dalil syara’
yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat dharuriyat
(primer) maupun hajjiyat (sekunder). (Al – I’tisham, juz 11 : 1229)[3]
C.
Menurut asy-Syatibi ( 730-790 H )
ان يلا ىٔم تصرفات الشرغ ، وهوأن يوجد لذلك المعنى
جنس إعتبره الشارع فى الجملة بغير دلِيل معين.وهو الاستدلال المر سل المسمى
بالمصالح المرسلة
“Maslahah itu ( maslahah yang tidak
ditunjukan oleh dalil khusus yang membenarkan atau membatalkan) sejalan dengan
tindakan syara’, artinya pada maslahah tadi ada jenis yang dibenarkan
oleh syara’ dalam kasus lain tanpa dalil tertentu. Itulah istidlal mursal yang dinamakan masalih
mursalah.”
Asy-Syaitibi
membagi maslahat menjadi tiga :
Pertama, maslahah yang ditunjukkan oleh
dalil syara’ untuk diterima. Kedua, maslahat yang ditunjukanoleh dalil
khusus untuk diterima atau ditolak. Ketiga, maslahah yang tidak
ditunjukkan oleh dalil khusus untuk diterima atau ditolak.3
D.
Menurut Zakiy ad-Din Sya’ban
المعنى التى يحصل من
ربط الحكم بها و بنا ىٔه عليها جلب منفعىٔةِ أو دفع مفسدة عن ِالخلق ولم يكن دليل
معين يدل عل اعتبر ها أو إلغاىٔها
“Maslahah/kemaslahahan yang ditetapkannya hukum
padanya akan berhasil menarik manfaat dan menolak mafsadah dari makhluq dan
tidak ada dalil tertentu yang menunjukkannya,baik yang membenarkan maupun yang
membatalkan.” [4]
E.
Menurut Badran Abu al-‘Ainain Badran
مصلحة لم يُعلم عن الشا رع دليل باالاعتبارولا
بالبطلان
F.
Menurut Husain Hamid Hassan
المصلحة المر سلة مصلحة تدخل تحت أصل شرعيّ مأخوذ من
استقراء -النصوص الشرعية
“Maslahah mursalah ialah maslahah yang
masuk/tercakup kedalam dalil syara’ yang diambil atau difahami lewat penelitian
dari berbagai nash syara’.”
G. Menurut
Wahbah Zuhaili
هي الاوصاف التى تلا ىٔم تصر فات الشرع و مقا صده ولكن
لم يشهد لها دليل معين من الشرع باالاعتبار او الإلغاء ويحصل من ربط الحكم بها
جلب مصلحة أو دفع مفسدة عن الناس
“Maslahah
mursalah adalah beberapa sifat yang sejalan dengan tindakan dan tujuan
syara’,
tetapi
tidak ada dalil tertentu dari syara’ yang membenarkan atau menggugurkan, dan
ditetapkannya hukum padanya akan tercapai kemaslahatan dan tertolak kerusakan
dari manusia.”
H.
Menurut Muhammad Sa’id Ramdan al-Buti
إن حقيقة المصالح المرسلة هي كل منفعة داخلة فى مقاصد
الشرع دون أن يكون لها شاهد با الإعتبار أو الإلغاء
“Hakikat maslahah mursalah ialah setiap manfaat
yang tercakup kedalam tujuan syari’( pembuat hukum islam) dengan tanpa dalil
yang membenarkan atau membatalkan.”
I.
Abu Zahrah
Al-mashlahah al-mursalah adalah suatu maslahah yang sesuai dengan
maksud-maksud hukum (Allah) secara umum, tetapi tidak ada dasar yang secara
khusus menjadi bukti diakui atau tidaknya. ( Abu Zahrah : 221)[5]
J.
Abu Nur Zuhair
Al-mashlahah al-mursalah adalah suatu sifat yang sesuai dengan hukum, tetapi
belum tentu diakui atau tidaknya oleh syara’. ( Muhammad Abu Nur Zuhair.IV :
185)
2.
Peristilahan
Al-maslahah al-mursalah
Dalam kajian usul fiqh, dapat disebut maslahah
mursalah (dalam
bentuk mufrad) atau masalih mursalah (dalam bentuk jamak). Keduanya lazim
digunakan. Menurut penelitian Dr. Muhammad Sa’ad asy-Syanawi, tokoh usuliyyin
yang pertama kali memunculkan dan mempopulerkan istilah istislah ini adalah
imam al-Haramain al-Juwaini (w.478 H). Al-Ghazali menyebutkan dalam kitabnya
al-Mankhul dengan istidlal sahih. Sebagian fuqaha dan usuliyyin menamakannya
denagan munasib mursal. Sebagaian ulama menggunakan istilah al-maslahah
al-mursalah itu dengan al-munasib
al-mursal.
Ada juga
yang menggunakan al-istishlah dan ada pula yang menggunakan istilah al-istidlal al-mursal.
Setiap
hukum yang didirikan atas dasar mashlahah
dapat ditinjau dari tiga segi yaitu :
Ø
Melihat mashlahah yang terdapat pada kasus yang
dipersoalkan.
Ø
Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ (al-washf
al-munasib) yang mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu
kemaslahatan.
Ø
Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahah
yang ditunjukkan oleh dalil khusus.
Walaupun para ulama berbeda-beda dalam memandang
al-mashlahah al mursalah, hakikatnya adalah satu, yaitu setiap manfaat yang
didalamnya terdapat tujuan syara’,
3.
Bentuk-bentuk
Maslahat
a.
Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan
itu, para ahli ushul fiqh membaginya kepada tiga macam, yaitu :
1) Mashlahah al-Dharuriyyah
Kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat
manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan ini ada 5 yaitu :
Ø
Memelihara agama, merupakan fitrah dan naluri insani yang
tidak bisa diingkari dan sangat dibutuhkan umat manusia, yang berkaitan dengan
‘aqidah, ibadah, maupun mu’amalah.
Ø
Memelihara jiwa, merupakan hak asasi bagi setiap manusia,
maka adanya hukuman qishash dapat memelihara keselamatan jiwa, sumber
daya alam untuk dikonsumsi manusia, dan lain – lain.
Ø
Memelihara akal, merupakan sasaran yang menentukkan bagi
seseorang dalam menjalani hidup dan kehidupannya, maka allah melarang meminum
minuman keras karena memabukkan.
Ø
Memelihara keturunan, merupakkan masalah pokok bagi
manusia dalam rangka memelihara kelangsungan manusia di muka bumi ini, maka
allah mensyari’atkan nikah.
Ø
Memelihara harta, merupakan sesuatu yang dharuri (pokok) dalam
kehidupan manusia. Untuk memelihara harta seseorang maka allah mensyari’atkan
hukuman pencuri dan perampok.
2) Maslahah al-Hajiyah
Merupakan
kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar)
sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara
kebutuhan mendasar manusia. Misalnya dalam dalam ibadah diberi keringanan
meringkas (qashr) shalat, dalam bidang mu’amalah dibolehkan
berburubinatang dan memakan makanan yang baik – baik. Semua ini disyari’atkan
allah untuk mendukung kebutuhan mendasar al-mashalih al-khamsah di atas.
3) Mashlahah al-Tahsiniyyah
Merupakan
kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keluasaan yang dapat melengkapi
kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan yang bergizi,
berpakaian yang bagus-bagus,melakukan ibadah-ibadah sunat sebagai tambahan
amalan ibadah. [6]
b.
Dilihat dari segi keberadaan maslahah menurut syara’
terbagi menjadi tiga yaitu :
1) Al-mashlahah al-mu’tabarah
Sesuatu yang maslahat menurut pertimbangan
akal, dan disamping itu ada pula petunjuk khusus dalam nash atau ijma’ bahwa
maslahat itu dapat diperhitungkan.
Maslahat dalam bentuk ini disepakati oleh
ulama untuk dijadikan petunjuk dalam menetapkan hukum. Misalnya, hukuman atas
orang yang meminum minuman keras dalam hadits Rasulullah saw. Dipahami secara
berlainan oleh para ulama fiqh, disebabkan perbedaan alat pemukul yang
digunakan Rasulullah saw. Ada yang mengatakan memukulnya memakai sandal
sebanyak 40 kali, ada juga yang mengatakan menggunakan pelepah pohon kurma
sebanyak 40 kali, oleh sebab itu ‘umar ibn al-khaththab, setelah bermusyawarah
dengan para sahabat yang lain menjadikan hukuman dera bagi orang yang meminum
minuman keras tersebut sebanyak 80 kali.
2) Al-mashlahat al-mulghah
Sesuatu yang maslahat menurut akal, namun ada
petunjuk khusus dalam nash atau ijma’ yang menolaknya. Ulama telah sepakat
untuk menolaknya menjadi dalil hukum syara’. Misalnya menentukkan
hukuman bagi orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari di bulan
Ramadhan, syara’ menentukkan hukuman dengan memerdekakan budak, atau puasa dua
bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin. Sedangkan
al-Laits ibn sa’ad, menetapkan hukuman puasa dua bulan secara berturut-turut
kepada si pelaku. Namun para ulama memandang hukuman ini bertentangan dengan
hadits nabi, karena bentuk-bentuk hukuman itu harus diterapkan secara
berurutan. Apabila tidak mampu memerdekakan budak , baru dikenakan hukuman
puasa dua bulan berturut-turut. Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqh memandang
mendahulukan puasa dua bulan berturut-turut dari memerdekakan budak merupakan
kemaslahatan yang bertentangan dengan kehendak syara’ hukumnya batal.
3) Al-mashlahah al-mursalah
Sesuatu yang muslahat menurut pertimbangan
akal, tetapi tidak ada nash secara khusus yang membenarkannya dan juga tidak
ada petunjuk khusus yang menolaknya. Terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Maslahah
al-gharibah, yaitu kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan yang sama
sekali tidak ada dukungan dari syara’ baik secara rinci maupun secara umum.
b. Maslahah al-mursalah, yaitu kemaslahatan yang
tidak didukung dalil dalil syara’ atau nash yang rinci, tetapi di dukung oleh
sekumpulan makna nash (ayat atau hadits).[7]
4. Objek
Al-mashlahah al-mursalah
Objek al-mashalahah
al-mursalah selain yang berlandaskan pada hukum syara’ secara umum, juga
harus diperhatikan adat dan hubungan antara satu manusia dengan yang lainnya.
Objek tersebut merupakan pilihan utama untuk mencapai kemaslahatan. Secara
ringkas al-maslahah al-mursalah difokuskan terhadap objek yang tidak terdapat
dalam nash, baik dalam Al-Qur’an maupun sunah yang menjelaskan hukum-hukum yang
ada penguatnya melalui suatu i’tibar, juga difokuskan pada hal-hal yang tidak
didapatkan adanya ijma’ atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut.
5.
6.
Teori
mashlahah dalam syariat islam
Dalam bahasa arab mashlahah merupakan sinonim dari
kata manfa’at dan lawan kata dari kata kerusakan. Kata manfa’at sendiri selalu
di artikan dengan ladzdah (rasa enak) dalam kajian syariat, kata mashlahat
dapat di pakai sebagai istilah untuk mengungkapkan pengertian yang khusus
meskipun tidak lepas dari arti aslinya. Sedangkan
arti mashlahat adalah menarik manfa’at atau menolak mudharat.
Menurut ‘izz ad-Din bin ‘Abdul Salam mashlahah dan
mafsadah sering di maksud dengan baik dan buruk, karena mashlahah itu baik
sedangkan mafsidah itu semua buruk membahayakan dan tidak baik untuk manusia.
Dalam bagian lain ‘izz ad-Din mengemukakan
bahwa mashlahah itu ada empat macam yaitu kelezatan, sebab-sebab nya,
kesenangan dan sarana nya. Sedangakan mafsadah juga ada empat macam, yaitu rasa
sakit atau tidak enak, penyebab atau hal-hal yang menyebabkannya, rasa sedih
dan penyebabnya atau hal-hal yang menyebabkannya imam al-Razi8
menyatakan bahwa pengertian manfa’at itu tidak perlu di definisikan seperti itu
sebab Al Ghozali menjelaskan bahwa menurut asalnya maslahah itu
berarti sesuai yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan mudharat yang
hakikatnya adalah memelihara tujuan syara dalam menetapkan hukum. Yusuf
Hamid dalam kitabnya al-maqashid yang dikutip oleh Amir Syarifudin menjelaskan
keistimewaan maslahah syari dibandingkan dengan maslahah. Ketiga, maslahah
dalam arti syara’ tidak terbatas pada rasa enak dan tidak enak dalam artian
fisik jasmani saja tetapi juga enak dan tidak enak dalam artian mental
spiritual atau secara rohaniah.[8]
7.
Pandangan Para Ahli Hukum Islam Terhadap
Maslahah Mursalah
Para ahli hukum islam dalam menghadapi mashlahah
mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum terbagi dua golongan. Golongan
pertama mengatakan bahwa pengguna mashlahah mursalah sebagai dalil hukum dalam
melaksanakan ijtihad yaitu diperbolehkan dan dapat dipakai sebagai
landasan untuk ijtihad, golongan kedua mengatakan penggunaan mashlahah
mu[9]rsalah sebagai dalil
hukum dalam ijtihad tidak diperbolehkan. [10]
8. Kehujjahan
Maslahah Mursalah
Jumhur ulama islam menetapkan bahwa maslahah
mursalah itu adalah hujjah syariat yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan
bahwasannya kejadiaan yang tidak ada hukumnya dalam nash dan ijma atau qiyas
atau istihsan itu disyariatkan .
a.
Syarat –syarat kehujjahan maslahah mursalah
Ø Berupa maslahah yang
sebenarnya, bukan maslahah yang bersifat dugaan. Yang dimaksud dengan ini,
yaitu agar dapat direlisir pembentukan hukum suatu kejadian itu, dan dapat
mendatangkan keuntungan atau menolak madharat. Adapun dugaan semata bahwa
pembentukan hukum itu mendatangkan keuntungan-keuntungan tanpa pertimbangan
diantara maslahah yang dapat didatangkan oleh pembentukan hukum itu, maka ini
berarti adalah didasarkan atas maslahah yang bersifat dugaan.
Ø Berupa maslahah yang
umum, bukan maslahah yang bersifat perorangan. Yang dimaksud dengan ini, yaitu
agar dapat direalisir bahwa dalam pembentukan hukum suatu kejadian dapat
mendatangkan keuntungan kepada kebanyakan ummat manusia, atau dapat menolak
madharat dari mereka.dan bukan mendatangkan keuntungan kepada seseorang atau
beberapa orang saja diantara mereka.
Ø
Pambentukan hukum bagi maslahah ini tidak
bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan oleh nash atau
ijma. Jadi tidak sah mengakui maslahah yang menuntut adanya kesamaan hak diantara
anak laki-laki dan perempuan dalam hal pembagian harta pusaka, karena maslahah
ini adalah maslahah yang dibatalkan. [11]
المصلح
المرسلة
ثبت باالا ستقرا ء وبل النصوص أن الشر يعةالإسلامية قد
اشتملت أحكامها على مصا لح الناس،فقد قال تعالى : مو ما أسلناك إلا رحمة للعا
لمين، وقال تعلى : يأيها النس قد جا ء تكم مو عظة من ربكم وشفاء لما فىالصدور
وهدى ورحمة للمؤ منين،وان هد المصلحة واضحة بينة لذوى العقول المستقيمة،وإن
اختفت تلك المصلحةعلى البعض أو اختلفوا فى شأ نها،فمنشأ ذلك استيلاء تفكير ٓاخر
على عقل أحد الناظرين غشى عليه فلم يدرك حقيقةالمصلحة االذ اتية الثابتة فى الحكم
الإسلام،أو يكون متأ ثرابحل وقنية،أو مأخوذاَبنظر موظعى أو شخصى،كمايدعى بعض
الناس اليوم أن المصلحة فى إباحةالفالدة،ويتجاوزن الحد متأثرين بانعهار الناس
فيها،فيدعون أنها غير داخلة في عموم الرباالمحرم بنص القران،ولقد جرؤبعض الناس
ممن غشاهم الهوى فقرر أنه لامصلحة فى تقريرعقوبة الجا(د)على الزانى
والزانية،وكذلك زعم بعض الدين استولى عليهم الهوى أن فى الخمر مصلحة تفوق
مضرتها،وما هذاكله إلاغاشيه من غواشى التأثر الفكرى بأقوام تحالموا من كل
حريجةدينية،وأصاب تفكير هم رق موصعى
والمصلحة
المرسلة أو الاستصلاح ـ هى المص لح الملاىٔمةلمقاصد الشارع الإسلامى،ولا يشهد
لها أصل خاص بالاعتبارأوالإلغاء،فإن كان يشهد لها أصل خاص دخلة فى عموم
القياس،وان كان يشهد لها أصل خاص بالإلغإفى باطلة،والأخذ بها منا هضة لم
صدالشارع[12].
KESIMPULAN
Mashlahah berasal dari kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat
ash-shalah. Sedangkan Mursalah artinya dengan mutlaqah yaitu
terlepas. Dengan demikian, mashlahah mursalah adalah suatu kemashlahahn yang
tidak mempunyai dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Tujuan utama
mashlahah mursalah adalah memelihara dari kemudharatan dan menjaga kemanfaatannya.
Sebagian ulama memandang maslahah mursalah sebagai hujjah (menjadikannya
sbagai dalil istinbat hukum islam) dan sebagian yang lain tidak memandang
sebagai hujjah, oleh karenanya status kehujjahannya masih diperselisihkan.
Untuk menentukan kehujjahan mashlahah mursalah perlu adanya syarat-syarat
kehujjahan yaitu :
Ø Maslahah itu
sejalan dengan jenis tindakan – tindakan syara’.
Ø
Maslahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan
dengan nash syara’.
Ø
maslahah itu termasuk ke dalam kategori maslahah
yang dharuri, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang
banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zarqa, Mustofa Ahmad, Hukum
Islam dan Perubahan Sosial (Study Kooperatif Delapan Mazhab Fiqh), Jakarta
: Riora Cipta, 2000
Haroen Nasrun, Ushul Fiqh 1,
jakarta : Publishing House, 1996
Hallaq, B Wael, Sejarah Teori
Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000
Hanafi, Ahmad, Pengantar dan
Sejarah Hukum Islam, Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1995
Mannan, Abdul, Reformasi Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2006
Muhammad Imam Abu Zahra, Ushul
Fiqh
Suratmaputra, Ahmad Munif, Filsafat
Hukun Islam Al-Ghazali Mashlahah Mursalah Revisinya dengan Pembeharuan Hukum
Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002
Syafe’i, Rachmat,Ilmu Ushul
Fiqh , Bandung :Pustaka Setia, 2007
Syarifudin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta
: Kencana Prenada Media Group, 2011
Yahya, Mukhtar, Dasar-dasar
Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung : Alma’arif, 1997
Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu
Ushul Fiqh, Jakarta : Bumi Aksara, 2005
١٩٩٥ ،داراالفكر:دمسق ،لفقه اصول فيِ الوجيز ،وهبة الزحيلي
[2] Abdul Khallaf Wahhab, Kaidah – kaidah Hukum Islam,( Jakarta : Raja Grafindi
Pradana, 1996 ), hlm.110
Tidak ada komentar:
Posting Komentar